Saturday, November 04, 2006



BAZIN

Pada umumnya papa Ando menyukai makanan khas Libya, atau pun Afrika Utara, selain makarona tentunya. Makarona adalah nama lain dari jenis pasta. Sudah capek makan pasta di Las Heras, tempat bertugas papa Ando dulu. Disana, karena tinggal di hotel dan makan di restoran selama hari kerja, sering menu yang dihadapinya adalah pasta, dan itu membuatnya jenuh.
Kus-kusi, Ruz bil lahm haruuf atau nasi kambing, brak, nasi yang dicampur daging giling dan dibungkus daun silk, kepala kambing, usban dan masih banyak lagiā€¦semua digemarinya. Tapi yang menjadi favorit adalah Bazin.
Kalau ada undangan dari teman kantornya, papa sering minta menu khusus bazin. Idih memalukan ya?
Hari Kamis seminggu yang lalu, Adel Ajeli, mengundang kami sekeluarga plus Om Fauzi untuk menikmati bazin. Sesampai disana, ternyata istri Adel yang bernama Najiha belum mulai memasak bazin. Dia menunggu saya untuk memulai memasaknya. Mungkin kasihan karena dilihat papa Ando senang sekali dan saya tak bisa menyiapkannya, jadi ingin mengajari saya. cooking class nih ceritanya...hmm...biar gak milih menu bazin kali ya.....
Cara memasak makanan yang mirip bubur padat ini sederhana sekali. HAnya panci yang berisis air mendidih dimasuki tepung wheat dan didiamkan selama 45 menit, untuk kemudia diaduk-aduk. Aduh, butuh tenaga yang kuat untuk mengaduknya. Posisi kedua kaki NAjiha menjepit panci yang masih panas. Duh, tega nian dikau papa Ando...kasihan deh. Berat sekali, karena bazin kental sekali, sehingga kalau diaduk-aduk panci akan bergeser-geser. Saya pikir kalau melihat cara memasaknya, pastilah permintaan bazin akan berhenti. Gak tega! Memang ini sebenarnya lebih pas untuk pekerjaan laki-laki. Butuh tenaga ekstra. Nah bubur bazin ini kemudian dimakan dengan daging , bisa daging kambing, sapi maupun onta yang dimasak merah dengan saus tomat dan bawang merah besar, seperti lazimnya kus-kus atau nasi kambing. Bazin sendiri menurut Adel seraj, guru bahasa Arab saya, sebetulnya adalah makanan sahara. Jadi para perantau padang pasir jaman dulu selalu membawa wheat untuk memudahkan menyiapkan makanan serta awet dibawa diperjalanan. Cara makan adalah ditaruh diatas panci besar, kedua jari, yaitu jari telunjuk dan jari tengah dipakai untuk menghantar makanan sampai di ujung mulut. Tentu saja jari-jarinya berjingkatan karena kuahnya masih panas. Buburnya dicampur dengan kuahnya, diremas-remas dengan ujung jari agar rata, dan dipakai untuk menyelimuti potongan kecil daging. SAtu piring besar ini , biasanya dikelilingi 4 orang. Jadi mereka makan berjamaah. Om Fauzi, yang notabene keturuna Arab, masih belum tega makan, sepertinya jijik melihat jari yang bergantian masuk, walau sudah ada pembagian area. Nah papa lah yang paling bersemangat. Begitulah, berulang-ualang jari masuk menjuput makanan, sampai akhirya kami sampai tahap upacara makan yang terakhir, yaitu menjilati jari-jari, sebagai bentuk penghormatan kepada yang menyiapkan, bahwa makanan ini sangat enak.
Saya yang satu piring dengan Najiha di kamar sebelah, belum bisa menghabiskan. Azul tampaknya setali tiga uang dengan papanya. Dia juga lahap sekali makan bazin. Duh, bisa-bisa sebentar lagi saya diminta untuk mencoba mempraktekkannya. Siapa mau bantu??

0 Comments:

Post a Comment

<< Home