Thursday, November 09, 2006

WARUNG BAKSO DI REGATTA




Makan baso rame-rame sering kita lakukan waktu sekolah di SMA dulu. Waktu kuliah juga sih, tapi tidak seheboh waktu masih di SMA. Minuman yang menemani kalau bukan es teh, pastilah es jeruk. Karena kalau dipadu dengan minuman lain, seperti es teller, es klamud, kenikmatan basonya jadi kalah pamor. Belum lagi kalau dipelototin yang kebagian nraktir, karena kan harganya lebih mahal. Warung yang paling sering kita kunjungi adalah baso kauman. Waktu itu, rasanya baso itulah yang paling nikmat. Apalagi lokasinya tidak begitu jauh dari sekolah. Karena terletak di kauman, kampungnya para santri, tentusaja baso ini memasang spanduknya besar-besar bertuliskan “Gilingan daging Handayani, dijamin halal”. Maksudnya daging bahan baso digiling di pusat penggilingan daging Handayani, yang dijamin halal, karena spesial untuk daging sapi. Konon ada pula penggilingan daging yang menerima penggilingan daging babi. Atau jangan-jangan daging tikus diterimanya pula seperti kasus yang heboh setahun lalu, baso tikus.
Selasa malam lalu, 7 nopember, kita juga beramai-ramai makan baso gratis, dalam rangka farewell Hany. Hany, dari schlumberger, yang ditugaskan sejak 4 bulan yanglalu, pulang ke Jakarta kamis 9 nop. Masih ada kemungkinan balik sih, tapi bisa juga tidak. Nah ada dua mbak Ami yang jualan, mb ami agus jualan baso, mb ami subhan jualan mie ayam. Warung buka dari jam 18.00-22.00. Ada dua jenis baso, baso urat made in Deny and baso halus made in mb ami agus. Dua-duanya enak. Minuman yang disediakan the hangat dan aneka macam jus serta softdrink. Kopi sengaja tidak ditampilkan, takut mata melek sampai larut. Kan paginya harus beraktifitas seperti biasa. Tamu yang hadir selain warga yang biasa muncul, ada yang spesial juga. Semua anak merubunginya. Skippy, kitty kecil punya Wolfy, datang didalam kardus besar, ditaruh dikamar sholat, samping kamar tamu. Azul yang gemas juga ingin melompat masuk, meraihnya. Segera Naila dan Nia berteriak, NOOO!!!!. Azul pun segera diamankan dari lingkungan situ. Pintu kamar ditutup rapat-rapat.

Akhirnya kegiatan Azul berganti naik turun tangga. Ada kegiatan lain sih, yang sempat jadi pusat perhaian. Azul gemas sekali dengan Melly. Jadi, Azul pun nyiumi Melly, dahi to dahi. "Tante dicium dong", goda tante2 lain, eh sambil senyum-senyum, tetap saja langkah terrah ke Melly, dan smok!, dahi azul ditempel ke dahi melly.





Meriahnya malam itu dimulai ketika mulai ditampilkan foto-foto piknik di gadamesh. Komentar yang keluar bermacam-macam. Mulai dari kamar pengantin, wahanya, saharanya, dan sorak sorai menyaksikan pasangan-pasangan yang mesra berfoto. Duh bikin iri saja! Piknik beramai-ramai memang menyenangkan. Kita dulu beberapa kali melakukan waktu tinggal di Comodoro Rivadavia. Dua keluarga saja sih. Tapi kesannya masih mendalam. Dibutuhkan toleransi yang cukup besar ketika bepergian bersama-sama. Kita harus bertenggang rasa pada kebiasaan masing-masing yang berbeda-beda. Terutama kalau membawa anak kecil, akan lebih enak kalau bepergiannya dengan family yang mempunya anak kecil pula. Kalau tidak, wah agak sulit penyesuainnya. Kecuali kalau toleransi antar pihak cukup besar. Ketika bepergian jauh, kadang akan menemui kendala-kendala. Nah disitulah kadang muncul sifat asli kita. Pergaulan sehari-hari hanyalah beberapa jam saja, dan dalam situasi yang nyaman. Tetapi dalam sebuah perjalanan, kendala-kendala yang ada akan membuat sifat-sifat asli yang tidak nampak, menjadi keluar kadang tanpa kontrol diri. Anak-anak yang rewel dan bosan dengan perjalanan, memancing amarah orangtua. Perkara finansial,memilih menu makanan atau restoran, prioritas obyek wisata yang akan dituju, kadang menimbulkan perselisihan. Gotongroyong mutlak diperlukan dalam kondisi ini. Ketika semua berjalan dengan mulus, ikatan persaudaraan akan bertambah semakin kuat, tetapi jika sebaliknya? Bisa dibayangkanlah....
Alhamdulillah, kenangan yang kita lewati dengan pergi rame-rame hampir semuanya indah. Semoga demikian juga bagi yang bepergian ke gadamesh.

Hany, 24 tahun, cukup aktif di pengajian Jumat. Pertanyaan yang dilontarkan cukup kritis. Sekali pernah hadir di pengajian Kamis pagi, dan membawa kesuasana haru. Dia bertanya tentang kewajiban berpakaian yang tertutup. Suasana di Tripoli, menurut dia sangat Islami, dan mengkondisikan dia untuk berpikir kearah itu. “Tapi saya takut, kalau nanti terus kenapa-kenapa…”, isaknya. Semua terpaku, diam… akhirnya para ustadpun mengeluarkan uneg-uneg. Demikian pula ibu-ibu yang lain. Jadilah acara pengajian hari itu semacam curhat. Semoga walau sudah jauh dari Tripoli, semangat yang diperolehnay disini tidak luntur. Tapi bahkan bertambah besar. Amien….

2 Comments:

Blogger Niken said...

kayak di rumah mbak esti ya?

bakso...gak perlu mimpi lagi kayak jaman dulu ya???

3:54 AM  
Blogger atikmp said...

Nikeeenn...ini kapan komen nya? Hahahaa...aku lupa masih bisa update ga yaaa... iya ini dirumah mba esti. Kan kmd dipakai mbak amik

9:17 AM  

Post a Comment

<< Home